Over Think or Over Feel
Mengasihani diri adalah penyakit.
Penyakit yang menggerogoti jiwa. Aku tau itu.
Bukan hanya sekedar menggerogoti jiwa, tapi juga menghancurkannya dengan cara terhebat dibanding cara menghancurkan diri lainnya.
Penyebab keparahannya, karena mengasihani diri itu addictive.
Seperti melihat diri sendiri di depan sebuah cermin dan cermin itu menunjukkan kepadamu semua alasan tentang mengapa kau adalah orang yang paling malang di dunia, dan betapa semua manusia juga semua keadaan memusuhimu.
Lalu kau akan menikmati perhatian2 dari beberapa orang yang terpukau dengan kemalanganmu... mereka yang berhati tulus dan selalu ingin menunjukkan perhatian pada orang2 yang kesusahan itu.
Kemudian cerita demi cerita bertema kemalangan pun akan terus bergulir dari mulutmu.
Sampai di sini, biar aku membuat sesuatu terang dulu.
Bahwa aku tidak mengatakan ini karena aku benci dengan orang2 penuh masalah yang menghampiriku.
Aku juga mengetahui kebenaran bahwa, sebagian dari manusia benar2 sengsara.. tidak peduli sebetapa baiknya mereka memperlakukan mental dan psikologis mereka.
Banyak peristiwa buruk terjadi juga pada orang2 yang baik dan bermental hebat.
Sebab orang2 hebat pun pernah jatuh tergelincir, dan berdiam di tingkat kehidupan yang paling bawah.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa, aku saat ini sangat sangat tergoda untuk jatuh mengasihani diriku sendiri. Dan menciptakan argumen2 mengharu biru bernuansa kemalangan di dalam jiwaku.
Seperti sebuah permainan jalan manakah yang kau pilih.
Toh, apapun pilihanku, aku sendiri tidak yakin apakah yang menungguku di ujung jalan.
Kalian, dan siapapun juga, tidak akan bisa melihat jalan apa yang aku pilih.
Karakterku terlalu mulus sehingga tidak akan dengan mudah dikenali.
Apakah aku bahagia, ataukah aku berpura2 bahagia?
Apakah aku sengsara, ataukah aku hanya mengasihani diriku sendiri?
Sebenarnya di mana perbedaannya?
Kebahagiaan pun yang sejati bukanlah versi fairy tale kan?
Sama persis dengan duka.
Keduanya mungkin hanyalah persepsi.
Tapi kalau dikatakan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah persepsi, hanyalah bagaimana cara kita memandangnya, aku pikir terlalu sok tau juga.
Karena kita semua tau seperti apa rasanya bahagia itu.
Kita semua mengerti bagaimana rasanya sengsara itu.
Dan aku tidak mau menambah kepedihan hatiku dengan berusaha memperumit apa yang sesungguhnya sangat mudah dibedakan itu.
Kita tau kalau kita berbahagia.
Sederhana.
Kita juga tau kalau kita tidak berbahagia.
Mengapa semakin kita dewasa kita senang mengatakan kita bahagia saat hati kita tau persis bahwa kita tidak merasakan kebahagiaan di sana?
Mungkin definisi kita sudah lama berubah seiring usia.
Atau kejujuran kita sudah banyak berkurang.
I don't know what is worse. To over think or over feel.
Komentar
Posting Komentar